Thursday, March 1, 2018

Liburan kami di Candi Borobudur, Magelang


Candi Borobudur merupakan candi Buddha terbesar di dunia dan ditemukan oleh Pasukan Inggris pada tahun 1814 dibawah pimpinan Sir Thomas Stanford Raffles. Candi Borobudur dibangun pada abad ke-8 dan ke-9 oleh dinasti Sailendra. Pembangunan candi menggunakan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk “ekor merpati” yang mengunci dua blok batu. Sedangkan relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung. Tujuan pembangunan candi Borobudur adalah sebagai tempat pemujaan Buddha dan tempat ziarah, dimana tempat ini berisi petunjuk agar manusia menjauhkan diri dari nafsu dunia dan menuju pencerahan dan kebijaksanaan menurut Buddha.

Borobudur dibangun dengan gaya Mandala yang mencerminkan alam semesta dalam kepercayaan Buddha. Struktur bangunan ini berbentuk kotak dengan empat pintu masuk dan titik pusat berbentuk lingkaran. Jika dilihat dari luar hingga ke dalam terbagi menjadi dua bagian yaitu alam dunia yang terbagi menjadi tiga zona di bagian luar, dan alam Nirwana di bagian pusat.

Zona pertama, yaitu Kamadhatu (alam dunia yang terlihat dan sedang dialami oleh manusia sekarang), zona kedua, yaitu Rupadhatu (alam peralihan, dimana manusia telah dibebaskan dari urusan dunia), dan zona ketiga, yaitu Arupadhatu (alam tertinggi, rumah Tuhan).


http://borobudurpark.com/temple/borobudur/


Untuk menuju ke Candi Borobudur, dari Rumah Doa Bukit Rhema kami melewati Jl. Ngadiharjo.  Perjalanan yang dibutuhkan sekitar 10 menit. Saat kami kesini bertepatan dengan long weekend, sehingga tidak mengherankan jika sebelum masuk area parkir akan disambut dengan kemacetan kendaraan mengantre untuk masuk. Banyak bus pariwisata dan kendaraan pribadi yang mengantre parkir. Beruntung kami segera menemukan tempat parkir yang ok, sehingga kami tinggal berjalan lurus sedikit untuk menuju pintu masuk candi Borobudur. 


Sebelum masuk kami diharuskan membeli tiket masuk terlebih dahulu. Untuk usia 10 tahun ke atas, tarif wisatawan nusantara alias dari Indonesia, yaitu sebesar Rp 40.000/orang. Kami pun masuk setelah menyerahkan tiket ke petugas. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat information centre  yang terdapat miniatur dan beberapa foto tentang sejarah candi Borobudur. Berjalan lagi ke arah kiri akan dijumpai beberapa gajah lucu yang bisa ditunggangi pengunjung. Ingin sekali merasakan sensasi menunggangi gajah, namun karena saya kasihan dengan gajahnya kalau semisal saya tunggangi dan karena saat itu juga panas sekali, maka saya hanya foto dari jauh saja. :)








Di saat long weekend seperti sekarang ini, candi Borobudur akan penuh sesak dengan pengunjung baik domestik maupun mancanegara. Sebelum naik ke pelataran candi Borobudur yaitu di pintu timur candi Borobudur ada aturan yang harus dipatuhi, yakni bagi wisatawan yang memakai celana pendek dan rok mini diharuskan mengenakan sarung. Hal ini bermaksud untuk menghormati situs suci umat Buddha tersebut. Namun tenang, karena wisatawan tidak perlu repot-repot membawa sarung dari rumah (hehe..) karena beberapa meter sebelum naik ke pelataran candi Borobudur terdapat pos petugas yang menyediakan kain sarung bermotif batik khas Borobudur, tapi jangan lupa dikembalikan yaa saat di pintu keluar nanti :) 


Kemegahan candi Borobudur akan terlihat semakin jelas setelah sampai di pelataran candi. Namun banyaknya wisatawan membuat kami sulit untuk menemukan spot foto yang tidak terlalu ramai. Bisa dibayangkan bukan gimana kesalnya jika foto tapi background-nya malah orang-orang yang berlalu-lalang di belakang kita. :( Akhirnya kita berjalan memutar dan naik melalui pintu selatan candi. Disini pengunjung tidak terlalu ramai sehingga kami bisa foto-foto dengan nyaman tanpa gangguan (hehe..). Berjalan lagi memutar ke barat  kemudian kami naik sampai di area stupa utama candi. 








Pemandangan dari atas candi Borobudur sangat indah, tampak taman disekitar candi yang ditumbuhi berbagai macam pohon dan bunga. Walaupun matahari juga sangat bersinar cerah alias panas sekali, tapi kami sangat menikmati suasana dari atas sini. Bagi pengunjung yang berfoto-foto di candi Borobudur juga terdapat aturan yang harus dipatuhi termasuk saya, yakni dilarang duduk atau memanjat stupa, dilarang memasukkan tangan ke stupa dan dilarang corat-coret di candi serta tetap menjaga kebersihan. Selain itu pengunjung juga diharapkan berhati-hati saat berfoto agar tidak terpeleset dan jatuh, dikarenakan bagian atas candi tidak memiliki pembatas. 







Pengunjungnya rame banget.. 

Banyaknya aturan yang ada di candi Borobudur jangan sampai kita anggap rempong dan sebagainya, karena hal tersebut juga demi kebaikan bersama. Selain itu bukankah kita memang sebaiknya menghormati dan ikut menjaga tempat yang kita kunjungi? :)








Note: Waktu yang tepat untuk mengunjungi candi Borobudur adalah saat pagi hari atau sore hari karena suasana tidak panas dan dapat melihat sunrise saat pagi hari atau sunset saat sore hari. Namun apabila berniat kesana siang hari dan cuaca cukup terik, disarankan untuk menggunakan krim sunblock agar kulit tidak terbakar sinar matahari, untuk pelindung kepala bisa menggunakan topi atau payung. Bagi yang tidak membawanya. disekitar candi Borobudur ada banyak sekali penjual topi dan persewaan bayung bagi pengunjung. Tapi Alhamdulillah saya sudah bawa topi hasil dari beli di sekitaran pantai Parangtritis kemarin, jadi tidak perlu beli lagi, hehe.. :) Jika ingin suasana yang tidak terlalu ramai, bisa memilih hari biasa atau selain long weekend untuk berkunjung kesini. Karena jika long weekend bisa dipastikan akan ramai sekali. 


Friday, February 23, 2018

Sunrise di Punthuk Setumbu, Magelang

Hari kedua di Jogja rencana awal adalah melihat sunrise di Punthuk Setumbu, Magelang dengan pemandangan Candi Borobudur dengan background gunung Merbabu dan gunung Merapi. Ekspektasi saya seperti itu, namun apa daya kenyataan kadang tak sesuai dengan ekspektasi. Niat hati ingin berangkat kesana pagi-pagi sekali sebelum sang fajar menyingsing tapi berakhir dengan berangkat jam 5.10 pagi dari tugu jogja.

Lokasi bukit Punthuk Setumbu tidak jauh dari Candi Borobudur, tepatnya di Dusun Kerahan, Desa Karang Rejo, Borobudur, Magelang. Waktu tempuh diperkirakan sekitar 1 jam perjalanan. Laju motor pun dipercepat. Berharap dapat sunrise yang indah dari atas Punthuk Setumbu. Lalu apakah yang terjadi? Kami sampai disana pukul 6 pagi. Hmm.. kecewa sekali, karena sesampainya disana suasana pagi sudah mulai terang, pengunjung pun banyak yang sudah turun kebawah. Semakin pesimis lah saya bisa melihat sunrise.

Motor diparkir dan segera membeli tiket masuk seharga Rp 15.000/orang.  Perjuangan pun belum berakhir, kami harus menaiki banyak sekali anak tangga untuk menuju keatas. Please jangan bertanya berapa anak tangga yang harus saya naiki karena saya terlalu sibuk mengatur nafas, berjuang agar segera sampai diatas :( .

Setelah perjuangan yang cukup melelahkan serta dibarengi dengan perut yang lapar, kami pun sampai di puncak Punthuk Setumbu sekitar 20 menit kemudian. Namun bukannya melihat sunrise tapi yang didapat adalah the sun shines, matahari yang bersinar terang. Ya tentu saja ini sudah siang, sudah jam berapa sekarang.. Huft.. Hanya awan-awan kecil tipis yang masih tersisa dengan Candi Borobudur dan Rumah Doa Bukit Rhema yang terlihat dengan jelas. Sayang, saat saya abadikan dengan kamera gawai saya yang biasa ini Candi Borobudur dan Rumah Doa Bukit Rhema tidak terlihat, hanya background putih sinar matahari. Namun beberapa spot foto disini cukup mengobati rasa kecewa saya.




Spot foto yang ada disini sekilas terlihat seperti spot foto di Batu Flower Garden. Hanya saja perbedaannya jika di Batu Flower Garden akan dikenakan tarif untuk setiap spot foto. Namun disini ada petugas dari Punthuk Setumbu yang siap membantu kita mengabadikan moment di spot-spot foto tersebut (jika tidak keberatan berilah tip untuk bapak-bapak tersebut yang sudah menolong kita untuk mengabadikan moment di spot-spot foto di Punthuk Setumbu).  Perbedaan lain adalah disini tidak ada hammock, sepeda udara maupun flying fox. Mungkin bisa dijadikan masukan kedepannya agar fasilitas disini lebih lengkap lagi.

Di puncak Bukit Punthuk Setumbu juga terdapat gazebo dan kursi-kursi kayu untuk melepas lelah setelah treking yang melelahkan dan menunggu sunrise tiba. Tapi untuk saya gazebo dan kursi-kursi tersebut hanya berfungsi sebagai tempat untuk melepas lelah saja. Yaa, itu karena saya sampai sini sudah siang dan matahari sudah bersinar terang. Hikss… :(

Setelah cukup beristirahat dan mendinginkan hati yang dongkol karena tidak kebagian sunrise di Punthuk Setumbu, kami pun  memutuskan untuk berfoto di spot-spot foto yang ada disitu.












Puas berfoto-foto saya masih berusaha mengumpulkan tenaga untuk kembali kebawah menuruni banyak sekali anak tangga. Tapi apa daya gara-gara kebanyakan membayangkan banyaknya anak tangga yang harus dilewati maka keinginan turun bukit pun selalu urung dilakukan. Padahal suami mengajak mengunjungi Rumah Doa Bukit Rhema.

Saat hati dilema itu, salah satu bapak petugas menyarankan agar sekalian mengunjungi Rumah Doa Bukit Rhema saja karena lokasinya cukup dekat dari Punthuk Setumbu. “Iya pak, sebentar saya masih mengumpulkan niat dan tenaga”, jawab saya. Seolah bapanya mengetahui apa yang saya pikirkan kemudian bapaknya bilang kalau tidak perlu melewati tangga saat kami naik bukit tadi, jalur lebih cepat menuju ke Rumah Doa Bukit Rhema adalah lewat jalan setapak di sisi kiri bukit Punthuk Setumbu. Sekitar 5 menit perjalanan. Hanya saja jalannya sedikit licin dan basah karena embun jadi harus berhati-hati. Mendengar jawaban dari bapak tersebut, suami pun semakin bersemangat pergi kesana. Segala bujuk rayu pun dikeluarkan..Hmm.. tau deh ada maunya. Baiklah keinginan dituruti asal jalannya pelan-pelan saja. Suami pun menyanggupi bahkan menawarkan akan menggendong saya jika saya lelah (haha..) Perjalanan pun dilanjutkan menuju Rumah Doa Bukit Rhema.









Note: Bagi yang ingin mengunjungi Punthuk Setumbu dan melihat sunrise, waktu ideal yang saya sarankan untuk sampai disana adalah pukul 5 pagi sebelum matahari terbit. Jangan seperti saya yang kesiangan. Hiks.. Siapkan juga tenaga untuk menaiki banyanya anak tangga disana. Semangat!! :)

Wednesday, February 21, 2018

Mengunjungi Rumah Doa Bukit Rhema, Rumah Segala Bangsa, Magelang

Salah satu tempat yang paling berkesan saat liburan ke Jogja kemarin adalah di Rumah Doa Rhema. Awalnya saya tidak begitu tertarik untuk mengunjunginya karena perjalanan menuju ke Punthuk Setumbu saja sudah memakan banyak energy saya yang belum sempat sarapan saat berangkat. Tapi karena suami ingin sekali melihat Rumah Doa Rhema secara langsung jadi saya sebagai istri mengalah saja, tapi dengan syarat jalan kakinya pelan-pelan saja. Bukan tanpa sebab saya bilang seperti itu karena saat itu saya memakai flat shoes yang notabene-nya tidak cocok untuk naik turun bukit dengan jalan setapak yang licin dan agak becek. 


Untuk menuju ke Rumah Doa Rhema dari lokasi puncak di Puthuk Setumbu harus turun bukit sekitar 5 menit dengan berjalan kaki di jalan setapak yang agak licin karena embun. Akhirnya perjalanan yang harusnya 5 menit jadi 10 menit, itupun sempat digendong beberapa kali karena flat shoes saya mengisyaratkan bahwa ia akan jebol (haha..).


Sesampainya disana yang terlihat pertama kali adalah sebuah bangunan baru yang cukup modern. Itu rumah atau apa, pikir saya. Setelah membeli tiket sebesar Rp 15.000/orang (dapat free makanan tradisional) saya berjalan lurus kedepan dan ternyata yang kita jumpai pertama kali itu adalah bagian belakang bangunan yang sudah direnovasi. Sekilas bangunan ini terlihat seperti ayam padahal awal pembangunannya Rumah Doa ini akan dibuat mirip burung merpati. Bukan tanpa sebab karena burung merpati merupakan lambang dari perdamaian tetapi pengerjaan berhenti dikarenakan kurangnya biaya sehingga sisi depan berbentuk mirip kepala ayam dan sisi belakang berbentuk ekor. Sehingga banyak warga sekitar yang menyebutnya dengan Gereja Ayam.


Rumah Doa Bukit Rhema Tampak Depan















Setelah puas melihat-lihat sisi depan, kami pun masuk ke dalam bangunan. Saat kami menyerahkan tiket ke petugas  kemudian dijelaskan bahwa Rumah Doa Rhema ini adalah rumah segala bangsa, yakni bahwa semua agama bisa berdoa disini, bahkan disini juga menyediakan mushala untuk yang beragama Islam. Disebelah kanan pintu masuk terdapat tangga menuju puncak bangunan, disebelah kiri pintu masuk terdapat basement tempat ruang doa dan mushalla, di lantai dua merupakan tempat untuk penukaran tiket dengan makanan yang disediakan dan di lantai tiga terdapat café. Dikarenakan kami berdua yang sangat lapar dan lelah karena telah berjalan naik turun bukit maka kami memutuskan untuk ke bagian belakang bangunan terlebih dahulu (FYI pintu masuk ada di sebelah kiri bangunan dari depan). Saya sangat ingin segera menukarkan tiket dengan makanan tapi apa daya suami penasaran ingin melihat basement dulu. Hikss,.baiklah saya mengalah lagi.



Ruang Tengah


Salah Satu Foto yang Terdapat di Ruang Tengah



Di basement saya dibuat terkejut dengan keberadaan ruang doa disana. Sekilas mirip seperti goa buatan dengan banyak ruangan yang tersedia dilengkapi dengan pintu kecil. Ruang tersebut merupakan ruang berdoa untuk semua umat di Indonesia dan di dunia yang berkunjung di tempat ini. Suasana ruang doa disini sangat sunyi dan tenang. Adanya banyak ruang doa disini tidak mengherankan karena slogan dari bangunan ini adalah The House Of Prayer For All Nation. Disalah satu sudut ruangan juga terdapat Wall Of Hope tempat menuliskan permohonan dan barisan doa.



Sudut di rumah doa bukit Rhema (Pertiwi/detikTravel)
(Foto yang ini ijin repost dari web sebelah karena saya tidak sempat foto)


Wall Of Hope






Dari basement kami beranjak ke lantai dua bangunan. Yess,.makaann. (hehe). Di lantai dua tiket masuk ditukar dengan singkong keju yg ditambah sambal. Singkong keju dengan sambal?? Gimana rasanya?? Jujur saya tidak pernah mencoba makan singkong keju dengan sambal. Setelah saya coba ternyata rasanya enak sekali. Sepertinya setelah pulang nanti saya akan sering makan singkong keju dengan sambal :) .. Karena kami sangat lapar, kami pun mengambil beberapa makanan ringan lagi. Eitss..bukan mengambil tapi beli (hehe). Ada bakso bakar, baso ikan bakar, tempura bakar, tahu isi, pisang goreng coklat dan singkong goreng tepung (Ini makanan baru juga buat saya dan rasanya enak. Kapan-kapan saya akan mencoba membuatnya sendiri dirumah dengan lebih berbumbu lagi). Untuk yang dibakar-bakar dibandrol dengan harga Rp 5000/tusuk sedangkan untuk gorengan Rp 10.000/biji. Makanan yang sudah kita dapatkan kemudian kita bawa ke lantai 3 tempat café berada. Disana kami memesan Hilo Avocado (sepertinya café disini disponsori oleh produk Hilo karena TV disudut ruangan café selalu menayangkan iklan Hilo dan kebanyakan menu disini adalah dari produk Hilo).











Suasana café sangat nyaman dan sangat menenangkan karena berada diatas bukit. Dari atas sini kita dapat melihat hijaunya pepohonan dan tumbuhan di sekitar. Ditambah dengan birunya langit dan angin yang sepoi-sepoi membuat kami betah duduk berlama-lama disini.














Setelah cukup kenyang dan memutuskan untuk beranjak dari café (walaupun sebenarnya saya masih ingin leyeh-leyeh di cafe sambil menikmati suasana disini), kami menuju ke bagian depan bangunan dengan menaiki beberapa anak tangga menuju ke atas. Dari atas bangunan pemandangannya Subhanallah indahnya. Puncak Borobudur, gunung dan hamparan hijau terlihat sangat indah dilengkapi dengan birunya langit Magelang. Setelah puas menikmati pemandangan dan foto sana sini kami memutuskan untuk menuju ke lokasi berikutnya yaitu Candi Borobudur. 





Note: Sepulang dari Jogja saya baru tahu kalo Rumah Doa Bukit Rhema menjadi salah satu lokasi syuting film AADC2. Itu pun setelah saya browsing untuk melangkapi info di ulasan blog saya. haha.. Maklumlah saya belum nonton filmnya :)  #maafkan